Foto: REUTERS/Beawiharta

Nasib Sektor Properti di Era Suku Bunga Tinggi & Resesi Dunia

Tabloid Properti – Kinerja sektor properti pada 2022 diwarnai dengan dinamika yang cukup beragam. Sektor properti berusaha bangkit setelah terbebani oleh pandemi Covid-19. Lantas, bagaimana prospek tahun ini?

Sayangnya, belum sepenuhnya bangkit, sektor properti kembali dihadapkan dengan sejumlah tantangan karena perang Rusia-Ukraina membuat pasokan komoditas dunia terhambat. Akibatnya, sejumlah harga komoditas dunia pun melonjak, sehingga badai inflasi pun tak terhindarkan.

Bank sentral dunia pun berlomba-lomba menaikkan suku bunga acuannya, tak terkecuali Bank Indonesia (BI).

Di sepanjang tahun 2022, bahkan BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 basis poin (bps). Suku Bunga BI dari semula bertahan pada level 3,5%, dalam kurun waktu lima bulan pada 2022 langsung naik ke level 5,5%.

Baca Juga : Rekomendasi Warna Cat Terbaik Eksterior Rumah yang Berikan Kesan Modern dan Hangat

Selain itu, adanya kenaikan bahan bakar minyak atau BBM juga meningkatkan biaya operasional pada sektor properti.

Di saat bersamaan, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) telah berakhir pada September 2022. Padahal, insentif tersebut dinilai sukses membantu menopang permintaan pada sektor properti.

Lantas, bagaimana kinerja keuangan emiten properti dan real estate tahun ini?

Kendati banyak didera sentimen negatif, kinerja emiten-emiten di sektor properti masih cukup baik. Mayoritas emiten sukses membukukan pendapatan dan laba bersih yang ciamik.

Selain itu, lonjakan harga beberapa komoditas seperti batu bara dan minyak kelapa sawit, juga menjadi berkah pada sektor property karena berperan dalam meningkatkan upah para pekerja dan meningkatkan daya beli di sektor properti.

Mayoritas emiten properti ternama sukses membukukan pendapatan yang naik di kuartal III-2022 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Namun, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) tercatat mengalami penurunan pada laba bersih menjadi Rp 918,3 miliar di kuartal III-2022 atau turun 1,33% dari Rp 930,77 miliar.

Selain itu, PT Intiland Development Tbk (DILD) mencatatkan peningkatan rugi bersih hingga akhir September 2022. Berdasarkan laporan keuangannya, beban pokok penjualan dan beban langsung naik menjadi Rp 1,16 triliun, sehingga menghasilkan laba kotor Rp 758,9 miliar atau naik 0,41% secara tahunan.

Bottom line DILD juga tertekan akibat kenaikan beban bunga menjadi Rp 306,19 miliar. Selain itu komponen pendanaan atas liabilitas kontrak naik menjadi Rp 311,52 miliar.

Akibatnya, rugi bersih DILD meningkat menjadi Rp 91,2 miliar. Namun, DILD masih dapat membukukan kenaikan pada total aset 2,43% menjadi Rp 16,86 triliun.

 

EmitenPendapatan (Rp miliar)% perubahanLaba Bersih/Rugi (Rp miliar)% perubahan
Kuartal III-2022Kuartal III-2021Kuartal III-2022Kuartal III-2021
PWON4490378018,78%138080072,80%
BSDE7140516038,37%918,3931-1,33%
CTRA722066408,69%1520101050,50%
SMRA4210378011,13%309,67170,44081,69%
DILD192018205,21%-91,2-77,230-0,41%

 

Sayangnya, kinerja yang baik pada laporan keuangannya belum sejalan dengan performa saham emitennya tahun ini. Mayoritas saham emiten properti masih tertekan di sepanjang tahun 2022. Hanya DILD yang sukses membukukan kenaikan 9,62% di sepanjang tahun 2022.

 

Saham1D1W1M3MYTD
PWON0.88%4.11%-4.6%0.88%-1.72%
BSDE-1.08%1.1%-0.54%1.66%-8.91%
CTRA-0.53%1.08%-6.93%-1.05%-3.09%
SMRA-0.82%0.00%-4.72%1.68%-27.54%
DILD1.79%3.01%-2.29%-1,72%9.62%

 

Proyeksi Sekor Properti 2023

 

Pertanyaan yang kembali muncul, yakni apakah pemulihan sektor properti akan berlanjut pada 2023?

Tantangan yang berlangsung pada tahun 2022, tampaknya masih akan membayangi. Terutama mengenai potensi resesi global.

Bahkan, Bank Dunia memprediksikan perekonomian global akan menyusut 1,9% poin menjadi 0,5% pada 2023, yang merupakan skenario terburuk. Namun, pemburukan ini tidak berhenti sampai di situ. Pasalnya, pada 2024, lembaga internasional ini melihat ekonomi dunia akan kembali menurun 1% menjadi 2,0%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa hampir semua negara di dunia yang mengalami risiko kemunduran ekonomi. Beberapa negara, dipastikan mengalami resesi ekonomi, di antaranya Amerika Serikat, Eropa, Inggris, dan China.

“Resesi bukannya tidak mungkin terjadi di Amerika Serikat. Pada 2022 dan 2023, Eropa juga kemungkinan terjadi resesi,” kata Sri Mulyani, dikutip Senin(4/12/2022).

Namun, International Monetary Fund (IMF) masih memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia masih akan tumbuh 5,3% tahun ini dan 5% pada 2023.

Selain itu, untuk menjaga momentum pertumbuhan, Bank Indonesia juga berencana akan memberikan bantuan.

Hal tersebut diungkapkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo vahwa akan terus memberikan stimulus alias ‘jamu manis’ untuk memberikan dorongan kepada sektor industri di Indonesia di tahun depan.

Perry menjelaskan, bank sentral akan terus memberlakukan kebijakan makroprudensial secara longgar. Likuiditas di tanah air juga dipastikan akan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha.

“Untuk kebijakan uang muka 0% kredit properti dan bermotor sudah kami perpanjang hingga 2023,” jelas Perry dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2023 bertajuk ‘Mengelola Ketidakpastian Ekonomi di Tahun Politik’ yang diselenggarakan oleh Indef, Senin (5/12/2022).

BI pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 4,5% hingga 5,3% pada 2023 dan meningkat menjadi 4,7% hingga 5,5% pada 2024. Angka inflasi pun diprediksi akan kembali melandai pada 2023.

“Inflasi yang saat ini masih 5,4% tahun depan akan kembali ke sasaran 3% plus minus 1% pada 2023. Inflasi inti akan di bawah 4%. Tahun 2024 akan lebih turun lagi ke dalam sasaran 2,5% plus minus 1%,” jelas Perry.

Adapun, beberapa tantangan yang patut dicermati oleh para pelaku industri pada tahun ini yakni.

Baca Juga : 7 Desain Rumah Modern 2 Lantai serta Rekomendasi Huniannya

Windfall Komoditas Diprediksikan Akan Berakhir

Pada 2022 silam, Indonesia mendapatkan ‘durian runtuh’ dari lonjakan harga komoditas dunia setelah perang Rusia-Ukraina mencuat pada 24 Februari 2022. Tak tanggung-tanggung, neraca perdagangan RI bahkan membukukan surplus hingga 31 bulan beruntun berkat harga batu bara dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) melonjak.

Namun, pada 2023 tampaknya windfall tersebut akan terhenti. Harga batu bara dan CPO diprediksikan akan melandai.

Sejumlah lembaga mulai dari Bank Dunia, Fitch Solutions, Perusahaan riset pasar McCloskey, hingga pemerintah Australia kompak memperkirakan harga batu bara akan melandai ke depan.

Serupa, harga CPO diproyeksikan akan diperdagangkan lebih rendah dari rata-rata tahun ini di US$ 850/ton dari US$ 1.175/ton.

Jelang Tahun politik

Pada 2023, Indonesia akan memasuki tahun politik jelang pemilihan presiden di 2024 mendatang.

Ketika tahun politik, konsumen dan para pelaku industri akan cenderung bersikap wait and see sebab adanya pergantian pemimpin akan mempengaruhi arah kebijakan ke depannya. Sehingga para pengusaha dan konsumen biasanya akan memilih untuk menunggu.

Outlook 2023

Meski sektor properti di hadapkan dengan sejumlah tantangan, tapi sektor ini masih mendapatkan sejumlah kelonggaran dan insentif.

BI telah memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan relaksasi rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit atau pembiayaan property maksimal 100%. Kebijakan tersebut memungkinkan para calon pembeli properti membayar Down Payment/DP 0% ketika menggunakan Kredit Pemilikan Rumah atau apartemen (KPR/KPA).

LTV atau FTV akan berlangsung pada 1 Januari hingga 31 Desember 2023.

Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna juga menegaskan bahwa pemerintah sedang mengembangkan lima usulan KPR Subsisdi yang akan dijalankan pemerintah yakni dengan optimalisasi KPR FLPP, memperluas jangkauan KPR ASN/TNI/Polri, Rent to Own (RTO) untuk MBR Informal, KPR dengan skema Staircasing Shared Ownership (SSO) dan juga pemberian KPR Mikro.

Baca Juga : 9 Fasilitas Apartemen yang Menjadi Keunggulan, Cek Dulu Sebelum Beli

Selain kebijakan dari pemerintah, tentu bantuan dari perbankan juga akan memiliki dampak yang besar terhadap kebangkitan sektor properti.

Apalagi, angka backlog perumahan atau kekurangan perumahan masih tinggi di Indonesia hingga saat ini yakni 12,75 juta orang. Sehingga, peluang di sektor ini masih sangat besar. Meski begitu, para pelaku industri tetap harus waspada sebab tantangan cukup banyak di tahun ini.

Sumber : cnbcindonesia.com